Harian Sederhana, Bogor – Sengakrut pembangunan Alhambra Apartemen di Jalan Ciheuleut, Kelurahan Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah yang ditolak warga terus bergulir.
Hal itu bukan tanpa alasan, tetapi hingga saat ini Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bogor terus memproses pelaporan soal dugaan kejanggalan perizinan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Presiden Joko Widodo.
Direktur LBH Bogor Zentoni mengatakan, laporannya itu saat ini masih diproses dan matangkan. “Insya Allah dalam waktu dekat akan segera dilayangkan kepada KPK,” ujar Zentoni, Senin (19/8).
Zentoni menuturkan, enam orang kliennya sama sekali belum menerima dana kerohiman dari PT Gapura Pakuan Property selaku pengembang apartemen 8 tower itu.
Tak hanya itu, kliennya juga tidak menandatangani perjanjian soal kesiapan direlokasi dan pembongkaran kios yang berdiri di atas lahan Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Klien kami enggak ada yang terima dana konpensasi dan nggak ada yang tanda tangan surat perjanjian,” ungkap Zentoni.
Ia menegaskan bahwa kliennya sudah 30 tahun berjualan di atas lahan Kementerian PUPR, dan dijanjikan oleh instansi terkait untuk dibuatkan koperasi pedagang. Jadi pengembang tak boleh main usir dan bongkar tempat berjualan mereka.
Terkait pernyataan pengembang bila mereka telah menyewa tanah seluas 2.003 meterpersegi milik kementerian per dua tahun sebesar Rp183 juta lebih, menurut Zentoni bahwa hal itu sah-sah saja dilakukan.
“Silahkan dan ituh hak mereka. Namun, untuk dapat menggusur para pemilik kios harus melalui mekanisme gugatan. Kalau mereka (pengembang) mau menggusur kami, ya harus melalui gugatan. Tidak bisa hanya begitu saja. Silahkan saja gugat, klien kita sudah 30 tahun kok jualan di lahan itu,” kata Zentoni.
Sementara itu, Sekretaris Puslitbang Pelatihan dan Pengawasan Kebijakan Publik (P5KP), Rudi Zaenudin meminta pengembang tidak sewenang-wenang melakukan penggusuran kendati mengaku telah menyewa lahan tersebut.
“Itu kan tanah negara, dan rakyat memanfaatkannya untuk mencari nafkah. Ya nggak bisa dong swasta maun gusus saja. Kecuali yang punya tanah,” ucapnya.
Rudi juga mengatakan, apabila ingin memindahkan pedagang, pengembang wajib melakukan kajian terkait berapa kerugian pedagang dan berapa lama dampaknya.
“Harusnya mengacu demikian, seperti yang dilakukan PT Marga Sarana Jabar (MSJ) saat tiang penyangga beton ambruk. Pertanyaannya apakah dana kerohiman yang dikeluarkan sudah sesuai dengan kajian itu,” ucapnya.
Sebelumnya, Head of Permit 2 PT Gapura Prima Group, Yayat Nurhayati mengatakan, sebagai pengembang pihaknya telah menyiapkan lahan rekolasi sementara bagi 28 pedagang eksisting.
“Kami sudah siapkan lahan relokasi. Kita juga bangunkan kios sementara. Nanti setelag pembangunan selesai, mereka akan dipindahkan ke depan,” ujar Yayat.
Yayat mengatakan, selaku pengembang telah menyewa lahan kepada Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dibayar per 2 tahun senilai Rp183 juta lebih. “Rencananya lahan itu akan kami buat lahan terbuka hijau dan pintu masuk apartemen,” ungkapnya.
Menurut dia, dari 28 pedagang eksisting hanya lima yang menolak kiosnya dibongkar. Padahal, kata dia, manajemen GPPC telah memberikan dana kerohiman atas pembongkaran tersebut.
“Ada dana kerohiman. Nominalnya variatif ada yang Rp3 juta sampai Rp32 juta. Dan tertuang dalam surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai. Selain itu, seharusnya pembongkaran kios pun dilakukan secara pribadi,” pungkasnya. (*)









