Harian Sederhana, Bogor – Kisruh soal rencana pembangunan Apartemen Alhambra yang berlokasi di Tegallega, Kecamatan Bogor Tengah karena ditolak warga terus menuai sorotan, kali ini Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) ikut angkat bicara.
Ketua DPD KNPI Kota Bogor Bagus Maualana Muhammadd mengatakan bahwa untuk berinvestasi termasuk pembangunan apartemen harus memenuhi semua persyaratan, baik secara aspek teknis maupun aspek sosial.
“Secara teknis, semua tahap perizinan harus dipenuhi, secara aspek sosial, warga setempat harus dilibatkan jangan sampe mengorbankan masyarakat kecil,” kata Bagus, Selasa (20/8).
Soal sudah keluarnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan Pemkot Bogor menurut Bagus, tidak mungkin ada polemik di masyarakat jika semua tahapan sudah dilalui dengan benar.
“Iya, kenapa ada penolakan dari warga padahal IMB sudah keluar, berarti ada apa?, Jadi Pemkot harus kaji ulang IMB apartemen itu,” tegasnya.
Sementara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bogor selaku kuasa hukum warga terus memproses pelaporan soal dugaan kejanggalan perizinan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Presiden Joko Widodo.
Direktur LBH Bogor Zentoni mengatakan, laporannya itu saat ini masih diproses dan matangkan. “Insya Allah dalam waktu dekat akan segera dilayangkan kepada KPK,” ujar Zentoni, Senin (19/8).
Zentoni menuturkan, enam orang kliennya sama sekali belum menerima dana kerohiman dari PT Gapura Pakuan Property selaku pengembang apartemen 8 tower itu.
Tak hanya itu, kliennya juga tidak menandatangani perjanjian soal kesiapan direlokasi dan pembongkaran kios yang berdiri di atas lahan Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
“Klien kami enggak ada yang terima dana konpensasi dan nggak ada yang tanda tangan surat perjanjian,” ungkap Zentoni.
Ia menegaskan bahwa kliennya sudah 30 tahun berjualan di atas lahan Kementerian PUPR, dan dijanjikan oleh instansi terkait untuk dibuatkan koperasi pedagang. Jadi pengembang tak boleh main usir dan bongkar tempat berjualan mereka.
Terkait pernyataan pengembang bila mereka telah menyewa tanah seluas 2.003 meterpersegi milik kementerian per dua tahun sebesar Rp183 juta lebih, menurut Zentoni bahwa hal itu sah-sah saja dilakukan.
“Silahkan dan ituh hak mereka. Namun, untuk dapat menggusur para pemilik kios harus melalui mekanisme gugatan. Kalau mereka (pengembang) mau menggusur kami, ya harus melalui gugatan. Tidak bisa hanya begitu saja. Silahkan saja gugat, klien kita sudah 30 tahun kok jualan di lahan itu,” jelas Zentoni.
Sebelumnya, Head of Permit 2 PT Gapura Prima Group, Yayat Nurhayati mengatakan, sebagai pengembang pihaknya telah menyiapkan lahan rekolasi sementara bagi 28 pedagang eksisting.
“Kami sudah siapkan lahan relokasi. Kita juga bangunkan kios sementara. Nanti setelag pembangunan selesai, mereka akan dipindahkan ke depan,” ujar Yayat.
Yayat mengatakan, selaku pengembang telah menyewa lahan kepada Dirjen Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dibayar per 2 tahun senilai Rp183 juta lebih. “Rencananya lahan itu akan kami buat lahan terbuka hijau dan pintu masuk apartemen,” ungkapnya.
Menurut dia, dari 28 pedagang eksisting hanya lima yang menolak kiosnya dibongkar. Padahal, kata dia, manajemen GPPC telah memberikan dana kerohiman atas pembongkaran tersebut.
“Ada dana kerohiman. Nominalnya variatif ada yang Rp3 juta sampai Rp32 juta. Dan tertuang dalam surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai. Selain itu, seharusnya pembongkaran kios pun dilakukan secara pribadi,” pungkasnya. (*)









