Harian Sederhana – Desentralisasi merupakan suatu bentuk tata pemerintahan dimana kewenangan dan kekuasaan tidak terpusat, melainkan menyebar ke daerah-daerah. Kedua, istilah sentralisasi yaitu kebalikan desentralisasi, kewenangan dan kekuasaan terpusat.
Di dunia ini ada negara yang berhasil mengguna strategi sentralisasi berhasil membangun pemerintahan seperti negara China dan Jepang. Dan yang tidak berhasil seperti negara Uni Soviet termasuk Indonesia.
Jatuhnya rezim Orde Baru membuka berbagai inisiasi untuk mendorong pemerintahan yang desentralistik. Daerah diharapkan berperan aktif dalam setiap upaya memajukan daerahnya. Keunikan yang dimiliki daerah juga diharapkan menjadi aset utama untuk dikelola, bukannya dihilangkan.
Era paska Reformasi merupakan eranya kebijakan desentralistik. Berbagai daerah mengajukan proposal untuk dimekarkan, dalam arti menjadi daerah otonom. Kecenderungan ini harus dicermati benar-benar oleh pemerintah pusat karena jangan sampai kekuatan nasional melemah seiring menguatnya independensi daerah-daerah.
Kota Depok dalam beberapa tahun selalu tersisa APBD atau dikenal dengan nama SILPA sebesar Rp 600-700 M-an dari APBD Rp 3 triliun. SILPA biasanya didapat dari empat hal yakni efisiensi nilai proyek, gagal lelang, perencanaan yang tidak matang dan yang terakhir adalah penghitungan target PAD yang dikecilkan.
Sayang sekali uang yang hanya Rp 3 triliun untuk membangun Depok tersisa Rp 700 miliar-an setiap tahun. Hal ini membuat kemajuan Depok tidak optimal.
Perencanaan tahun-tahun kedepan seharusnya bisa lebih matang sehingga tidak terjadi SILPA yang besar lagi, hampir 22 persen kurang lebih tak terpakai.
Banyak program dan kegiatan masyarakat yang seharusnya sudah bisa pemakaian anggaran yang optimal. Misalnya dana per kelurahan yang awalnya Rp 2 miliar, kita tambahkan minimal Rp 5 miliar.
Untuk apa saja? Tentu dengan dana tesebut semaksimal mungkin untuk membangun infrastruktur sarana dan prasarana serta pembangunan SDM di tingkat kelurahan yang berdaya saing (berkualitas).
Penambahan kebijakan anggaran dari Rp 2 miliar ke Rp 5 miliar hanya dibutuhkan Rp 3 miliar per kelurahan. Total penambahan hanya 3 x 63 kelurahan = Rp 189 miliar. Masih banyak sekitar Rp 511 miliar.
Mendobrak kebiasaan lama tentang struktur APBD Depok yang lebih berpihak kepada warganya. Istilah saya APBD pro rakyat. Menaikan tiga kali lipat untuk dana insentif RT/RW dan LPM tingkat kelurahan.
Dalam struktur APBD masih banyak lembaga belum diberikan hak yang benar. Seperti dibidang olahraga seperti anggaran untuk NPCI dan FORMI, disisi lain KONI hampir setiap tahun diberi miliaran rupiah. Anggaran untuk Karang Taruna tingkat kelurahan. Beberapa kota di Jawa Barat sudah memberi setiap tahunnya.
APBD pro rakyat dan pembangunan berbasis kelurahan menjadi jawaban atas SILPA yang terlalu besar disetiap akhir tahun. Memang belum dicoba. Kepala daerah dapat mencoba untuk hal tersebut diatas.
Mudah-mudahan menjadi terobosan baru pembangunan berbasis kelurahan. Perkuat SDM dengan demikian segala persoalan bisa diselesaikan dengan cepat, termasuk perizinan yang sederhana cukup sampai di kelurahan. Semoga Depok bisa lebih maju dan berbudaya. (*)









