Menu

Mode Gelap
Rabu, 17 Desember 2025 | 06:02 WIB

Bogor

Miris! Selama 2019 Terjadi 93 Kasus KDRT

badge-check


					Foto: Illustrasi Perbesar

Foto: Illustrasi

Harian Sederhana, Bogor – Meski terbilang menurun, namun angka Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Kota Bogor masih tinggi, karena dari kurun waktu Januari hingga Oktober terdapat sedikitnya 93 Kasus.

Angka tersebut berdasarkan aduan masyarakat yang masuk ke Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Bogor

Menurut data di P2TP2A Kota Bogor, pada 2017 tercatat ada 134 aduan erkait kekerasan terhadap perempuan dan anak. Pada 2018, mengalami penurunan menjadi 108 kasus dan selama Januari sampai Oktober tahun ini laporan masuk sebanyak 93 kasus.

Ketua P2TP2A Kota Bogor Mutia Qoriana, menyebutkan kalau dari aduan kasus yang masuk, masih didominasi oleh kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Dari 134 kasus yang masuk di 2018, 55 diantaranya merupakan kasus penganiayaan, lalu di 2018 ada 41 kasus dan 2019 baru terdapat 35 kasus,” kata Mutia kemarin.

Wanita yang akrab disapa Qori ini, mengungkapkan kalau ada lima bentuk penganiayaan yang biasa terjadi didalam rumah tangga. Bentuk kekerasan pertama adalah kekerasan fisik, baik itu pemukulan dengan tangan kosong ataupun dengan menggunakan benda.

Kedua kekerasan verbal atau caci makian. Ketiga, kekerasan psikolog atau emosional, keempat adalah kekerasan ekonomi dan terakhir kekerasan seksual.

Dia menambahkan, untuk kekerasan psikolog biasanya tidak disadari, karena meliputi tindakan pembatasan penggunaan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan teror.

Menurutnya, dari banyaknya kasus KDRT yang terjadi di Kota Hujan, faktor kecemburuan menjadi penyebab utama, terjadinya KDRT. Disusul oleh faktor ekonomi dan perselingkuhan.

Bahkan akibat kasus tersebut, tidak jarang juga berujung pada perceraian. “Ya, kurang lebih 40 persen laporan yang masuk, akan berujung pada perceraian,” kata Qori.

Ia menjelaskan kalau data laporan yang masuk ke P2TP2A memiliki dua sisi, yaitu positif dan negatif. Sisi positif menurutnya disebabkan karena para korban sudah berani melapor ke pihak terkait.

Karena lanjut dia, menurut sepengetahuannya para perempuan akan relatif menutup diri jika menjadi korban KDRT.

“Bagi sebagian dari mereka menilai bahwa hal itu merupakan aib yang tidak boleh disebarkan. Sisi negatifnya berarti masih ada KDRT yang terjadi di Bogor,” terangnya.

Untuk menekan angka perceraian, Pemerintah Kota (Pemkot) Bogor, sudah mencoba turun tangan. Tim Penggerak Pembina Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Bogor mengetuskan sekolah ibu.

Sekolah Ibu yang muncul sejak 2017 melalui inisiasi Ketua TP PKK Kota Bogor Yane Adrian, pada dasarnya bergerak untuk menjaga ketahanan keluarga.

Dalam sekolah ibu terdapat materi atau pendidikan tentang fungsi keluarga, kualitas keluarga, ketahanan keluarga dan komunikasi dalam keluarga.

Istri dari orang nomor satu di Kota Bogor itu menyebutkan, kalau selama dua tahun sudah ada 10 ribu ibu-ibu yang dibina oleh timnya dan menghasilkan penurunan angka gugat perceraian oleh istri.

“Fungsi keluarga, ketahanan keluarga dan manajemen stress adalah tiga hal penting yang harus dijaga oleh para ibu agar rumah tangganya bisa tetap terjaga,” kata Yane. (*)

Facebook Comments Box

Baca Lainnya

Jaringan Dealer ke 53 Chery Ada Kota Bogor, Ini Lokasinya

19 Agustus 2025 - 16:38 WIB

Program Skrining Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Kota Depok Dimulai Februari 2025

13 Januari 2025 - 10:58 WIB

Ilustrasi pemeriksaan kesehatan.

Angka Kehamilan di Bogor Tinggi Saat Pandemi Covid-19

4 Juni 2020 - 02:56 WIB

Beras Bansos di Gunung Putri Kurang Berkualitas

3 Juni 2020 - 22:40 WIB

Jalur Puncak Berlapis Sekat TNI, Polisi dan Dishub

3 Juni 2020 - 22:34 WIB

Trending di Bogor