Harian Sederhana – Defisit keuangan BPJS Kesehatan Pada 2015, mencapai Rp. 3,8 triliun, tapi tahun ini diperkirakan defisit membengkak menjadi Rp. 32 triliun, dan diproyeksikan akan menciut jadi Rp. 13,3 triliun lewat kebijakan kenaikan iuran. Angka ini terpaut jauh dari proyeksi defisit awal sebesar Rp. 32,8 triliun sebelum kenaikan iuran diputuskan.
Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan Muhammad Iqbal Anas Maruf kepada CNNIndonesia.com, kenaikan iuran Penerima Bantuan Iuran ( PBI ) dan Pekerja Penerima Upah-pemerintah ( PPU ) berpengaruh besar. Kalau dihitung jumlah PBI, yang ditanggung APBN dan APBD per 1 Agustus 2019 dan PPU pemerintah per 1 Oktober 2019 akan membantu menurunkan banyak angka defisitnya.
Jumlah peserta PBI dan PPU saat sangat banyak, berdasarkan data BPJS Kesehatan, peserta PBI mencapai 133,93 juta yang terdiri dari peserta yang ditanggung pemerintah pusat sebanyak 96,59 juta dan peserta yang ditanggung oleh pemerintah daerah 37,34 juta. Sementara itu, jumlah peserta PPU-pemerintah per 1 Agustus 2019 tercatat sebanyak 17,53 juta orang.
Hitung-hitungan CNNIndonesia.com, BPJS Kesehatan akan mendapat dana tambahan dari peserta PBI pusat sebesar Rp. 9,17 triliun, kemudian lembaga itu juga akan mendapatkan dana tambahan dari PBI yang ditanggung oleh pemerintah daerah sebesar Rp. 3,54 triliun. Dalam hal ini, pemerintah menaikkan iuran peserta PBI sebesar Rp. 19.000, ini artinya iuran naik dari semula Rp. 23.000 menjadi Rp. 42.000.
Sementara, besaran iuran PPU penyelenggara negara adalah 5 % dari gaji per bulan. Sebanyak 4 % nantinya ditanggung oleh pemberi kerja atau negara dan 1 % ditanggung oleh peserta PPU. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 24 Oktober 2019 tercantum bahwa pemberi kerja hanya menanggung 3% dan peserta 2 %.
Keuangan BPJS Kesehatan berpotensi semakin baik tahun depan. Pasalnya, pemerintah akan mengerek iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja sebesar dua kali lipat mulai Januari 2020. Rinciannya, iuran peserta kelas mandiri I naik dari Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per peserta per bulan. Kemudian, kelas mandiri II naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per peserta per bulan.
Sedangkan, iuran untuk peserta kelas Mandiri III naik paling kecil, yakni Rp16.500. Dengan demikian, iuran untuk kelas tersebut naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan. Dengan kenaikan itu, BPJS Kesehatan memprediksi keuangannya surplus sebesar Rp17,3 triliun pada 2020. Kemudian, pada 2021 sebesar Rp12 triliun, 2022 sebesar Rp5,8 triliun, dan 2023 sebesar Rp1,2 triliun.
Inilah yang menjadi Polemik dari Upaya Pemerintah menaikan iuran BPJS, hal ini tentu sangat membebani peserta BPJS mandiri dengan kategori kurang mampu yang seharusnya menjadi Peserta BPJS PIB. Pendapat ini selaras dengan pernyataan BPJS Watch yang menilai keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan ini, akan membebani peserta BPJS Kesehatan mandiri yang tergolong sebagai masyarakat tidak mampu.
Indra mengaku, BPJS Watch telah menerima aduan dari masyarakat berbagai daerah yang merasa khawatir dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan. Indra menuturkan masyarakat yang mengeluhkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu umumnya merupakan masyarakat tak mampu yang tidak terdaftar sebagai peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Kenyataanya di masyarakat banyak yang tidak mampu tapi tidak semua ter-cover oleh APBD dan APBN sebagai PBI, dan ini menjadi hal yang membuat tidak setuju dengan kenaikna iuran BPJS.
Hal yang harus dipikirkan bersama adalah bagaimana masalah defisit keuangan BPJS teratasi tanpa membebani peserta BPJS mandiri yang termasuk kategori tidak mampu.
Solusiyangtepat adalah Pemerintah mengucurkan anggarannya untuk jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan karena di dalam Tap MPR X Tahun 2001 yang mengamanatkan anggaran jaminan kesehatan sebesar 15 % dari APBN.
Melihat upaya yang di lakukan oleh Pemerintah untuk mengatasi defisit BPJS ini, maka saya setuju jika peserta kelas III tidak naik iurannya serta pemerintah harus disertai dengan peningkatan pelayanan dan pembayaran BPJS, jangan seperti sekarang banyak Rumahsakit yang belum dibayar BPJS dengan kata lain BPJS masih berhutang sehingga kadang ini yang menimbulkan tersendatnya pelayanan karena cashflownya yang tidak lancar.
Naiknya iuran peserta BPJS PPU sebesar 5%, inipun tidak memberatkan pesertanya, karena 4% akan dibayarkan oleh pemberi kerja dan 1 % ditanggung peserta yang akan di potong setiap bulannya oleh Perusahaan.
Ditulis oleh : Ns. Ummu Aeman, S.Kep (Mahasiswa Magister Jurusan MPK STIKIM Jakarta)









