Menu

Mode Gelap
Rabu, 17 Desember 2025 | 17:00 WIB

Depok

Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan DITOLAK

badge-check


					Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan DITOLAK Perbesar

Harian Sederhana, Depok – Pemerintah rencananya akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tahun 2020 mendatang. Hal ini sesuai terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 24 Oktober 2019.

Perpres 75/2019 telah menjadi kado terburuk bagi rakyat di awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Keputusan ini pun dipertanyakan dan sudah banyak unsur masyarakat yang menolak atas kenaikan iuran tersebut sebelum diberlakukan.

Salah satunya Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok menolak naiknya iuran BPJS Kesehatan. Hal ini lantaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan dikhawatirkan dapat membebani masyarakat. Karenanya ia menolak kenaikan iuran ini.

“Sikap kami sebagai masyarakat Indonesia menolak atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan,” kata Ketua DKR Depok, Roy Pangharapan, Selasa (05/11).

Tentu alasan DKR menolak kenaikan iuran tersebut ada alasannya. Roy mengatakan bahwa jaminan sosial itu haknya rakyat sesuai Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Maka dari itu, BPJS Kesehatan ini sebagai jaminan sosial harus diberikan secara cuma-cuma.

“Dengan iuran sekarang saja banyak yang nunggak, apalagi dinaikan. Kami harap pemerintah membatalkan kenaikan BPJS Kesehatan di tahun depan,” katanya.

Roy mengatakan, sebaiknya pemerintah memikirkan terlebih dahulu menaikan iuran BPJS Kesehatan kelas tiga atau Jamkesmas diterapkan kembali. Sebab, Jamkesmas ini mengcover jaminan kesehatan untuk keseluruh rakyat Indonesia di kelas tiga seluruh rumah sakit dan puskesmas dengan dana dari APBN.

“Di 2009 saja dana APBN untuk Jamkesmas sebesar Rp 6,7 triliun untuk mencover 86,7 juta orang untuk kelas tiga,” katanya.

Menurut Roy, rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen semakin memberatkan bagi rakyat miskin dan tidak mampu. “Tolong jangan memberatkan rakyat,” tandasnya.

Sementara itu Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menyatakan kekecewaannya terhadap terbitnya Perpres tersebut. Perpres yang menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak mau tahu dengan kesulitan yang dialami masyarakat.

Padahal sebelum terbitnya Perpres 75 tahun 2019 sudah banyak elemen masyarakat yang menyatakan keberatannya atas rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Hal tersebut diungkapkan Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat kepada Harian Sederhana.

Mirah mengatakan, Perpres ini juga menunjukkan pemerintah dan BPJS Kesehatan hanya ingin mengambil ‘jalan gampang’ dan tidak kreatif dalam mengatasi defisit di BPJS Kesehatan. Pemerintah juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penyebab defisitnya BPJS Kesehatan.

Dalam Pasal 34 Perpres 75/2019, tarif iuran kelas mandiri III dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III naik Rp 16.500 dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per peserta per bulan.

Sedangkan, iuran kelas mandiri II dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp 110.000 per peserta per bulan. Tarif iuran kelas mandiri I dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per peserta per bulan.

“Kenaikan iuran 100 persen yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2020, jelas sangat memberatkan rakyat, disaat daya beli masyarakat sangat turun karena minimnya penghasilan dan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di berbagai perusahaan,” tuturnya.

Mirah menjelaskan, kenaikan iuran akan berdampak pada semakin banyak masyarakat yang akan gagal bayar iuran karena penghasilannya memang tidak mencukupi, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Mirah Sumirat mengatakan seharusnya untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan, pemerintah terlebih dahulu melakukan pembenahan dan penindakan hukum berdasarkan hasil temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sudah menyelesaikan audit sistem Jaminan Kesehatan Nasional.

“Berdasarkan hasil audit BPKP atas BPJS Kesehatan yang dipaparkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja bersama Komisi Keuangan DPR pada Rabu, 21 Agustus 2019, sesungguhnya terungkap akar masalah defisitnya BPJS Kesehatan. Walaupun Pemerintah dalam 4 tahun terakhir, telah menyuntikkan dana Rp 25,7 triliun, namun ternyata BPJS Kesehatan tetap mengalami defisit, hingga jumlahnya mencapai Rp 49,3 triliun sejak 2015,” kata Mirah.

BPKP telah menyampaikan rekomendasi untuk melakukan perbaikan pengelolaan Jaminan Kesehatan Nasional yang meliputi aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, biaya manfaat jaminan kesehatan, dan strategic purchasing.

Pada aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, ada temuan badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Disamping itu, ada perusahaan yang melaporkan jumlah pegawainya lebih rendah dari seharusnya, juga perusahaan yang melaporkan penghasilan lebih rendah dari seharusnya.

Mirah menyoroti minimnya penegakkan hukum bagi perusahaan yang tidak melaporkan jumlah pekerja dan penghasilan, tidak sesuai keadaan sebenarnya. Padahal potensi penerimaan iuran dari pekerja formal (Pekerja Penerima Upah/PPU) sangat besar yang bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi defisit BPJS Kesehatan.

“Pemerintah terkesan tidak serius dan membiarkan para pengusaha melakukan pelanggaran dimaksud,” bebernya.

Temuan lainnya adalah tingkat kepesertaan aktif pekerja bukan penerima upah yang masih rendah yaitu baru mencapai 53,72 persen. Ini membuktikan bahwa BPJS Kesehatan masih belum efektif dalam melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.

“BPKP juga menemukan masih adanya permasalahan validasi dan integritas data BPJS Kesehatan, antara lain nomor induk kependudukan yang salah, NIK ganda, hingga adanya peserta yang seharusnya tidak masuk ke kelompok miskin,” kata Mirah.

Pada aspek manajemen biaya manfaat jaminan kesehatan, temuan BPKP adalah belum efektifnya pencegahan kecurangan oleh BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan. Perlu adanya tim pencegahan fraud, hingga pedoman dan kebijakan pencegahan kecurangan.

“Temuan BPKP selanjutnya adalah masih adanya permasalahan dalam manajemen klaim, seperti misreading, upcoding, klaim ganda, klaim oleh peserta dengan status meninggal, hingga klaim oleh bukan peserta aktif,” imbuh Mirah.

Sedangkan pada bidang strategic purchasing, temuan BPKP adanya klasifikasi rumah sakit yang tidak sesuai dengan kriteria persyaratan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Ketidaksesuaian ini terjadi baik dalam aspek pelayanan, sumber daya manusia, dan sarana prasarana.

“Inilah yang mengakibatkan terjadinya inefisiensi atas tarif klaim rumah sakit. Temuan lainnya adalah adanya pembayaran kapitasi yang tidak sesuai persyaratan,” ungkapnya.

Karenanya Mirah sebagai Presiden Aspek Indonesia meminta kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan Perpres 75/2019 dan lebih fokus untuk menyelesaikan akar permasalahan dari defisitnya BPJS Kesehatan, sebagaimana temuan BPKP.

“Jangan karena Pemerintah yang gagal mengelola Jaminan Kesehatan Nasional melalui BPJS Kesehatan, kemudian bebannya ditimpakan kepada rakyat melalui kenaikan iuran. Jangan karena adanya kebocoran dan fraud dalam pengelolaan JKN BPJS Kesehatan, kemudian masyarakat yang diberikan sanksi apabila tidak membayar iuran,” tandas Mirah.  (*)

Facebook Comments Box

Baca Lainnya

KPK Masih Usut Soal Penyaluran Dana CSR BI dan OJK

14 Desember 2025 - 14:12 WIB

Dindin Saprudin Resmi Jabat Anggota DPRD Kota Depok

28 November 2025 - 12:45 WIB

Wakil Ketua DPRD Kota Depok Tajudin Sosialisasi Fungsi Komisi C ke Warga Grogol

26 November 2025 - 11:03 WIB

BPJS Kesehatan Depok Gelar Ngopi JKN

19 November 2025 - 12:17 WIB

Hajatan 13 Beji 2025: Gen Z Depok Bersatu Lewat Kreativitas dan Budaya Lokal

10 November 2025 - 11:22 WIB

Trending di Depok