Selanjutnya, pada Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 40 tentang Pers berbunyi, “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp500 juta”. Sementara Pasal 18 ayat (2) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi, “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp2 miliar”.
Kemudian pada Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 40 tentang Pers berbunyi, “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100 juta”. Sementara Pasal 18 ayat (3) Omnibus Law RUU Cipta Kerja berbunyi, “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dikenai sanksi administratif”.
Terakhir Pasal 18 ayat (4) berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
Atas usulan revisi pasal UU Pers yang disodorkan pemerintah, AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers menyatakan sikap menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers.
Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar Pasal 9 dan Pasal 12.
“Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka,” ujar Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana seperti dikutip SINDOnews.
Dia menjelaskan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya. Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.
“Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui. Instrumen-instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers,” tandasnya.









