Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat”.
“Kami memertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400% dari Rp500 juta menjadi Rp2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik,” ungkapnya.
“Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut,” sambungnya.
AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers juga menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan UU Pers. Pihaknya menilai bahwa UU itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten.
“Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat 2 dan 3 adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers. Ayat 2 mengatur soal “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”, ayat 3 berisi jaminan bagi “pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”,” tutur Yadi.
Namun, lanjut Yadi, bagi pihaknya yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat menjalankan tugasnya.
Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar Pasal 4 ayat (3) UU Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam KUHP. Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan.
Dia menambahkan jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka harusnya menggunakan UU Pers yang sanksinya lebih berat, yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp500 juta. Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi pihaknya untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini.
“Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik “lip service”, pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara menaikkan jenis sanksi denda ini. Bagi kami, yang jauh lebih substantif yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi penegakan hukum Undang-undang Pers,” tutupnya. (*)









