Harian Sederhana, Bogor – Setelah sebelumnya usulan perda obligasi yang ditolak, kini Perda Dana Cadangan yang merupakan salah satu poin dalam lembaran dalam obligasi juga ditolak Badan Pembuat Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kota Bogor.
Anggota Bapemperda Atty Somaddikarya mengatakan, jika ada Perda Obligasi tentunya harus ada Perda Dana Cadangan. Sebab dana cadangan itulah yang akan digunakan untuk membayar pokok bunga dalam obligasi.
Menurut Atty, wakil rakyat menolak usulan Perda Dana Cadangan dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) lantaran kondisi APBD Kota Bogor yang kerap mengalami defisit setiap tahunnya.
“Kalau kondisi selalu defisit. Kemudian harus ada dana yang disimpan sesuai Perda Dana Cadangan, itu nggak logis,” kata Atty di Gedung DPRD Jalan Pemuda Kota Bogor kemarin.
Ia menegaskan bahwa sebelum pemkot melalui BPKAD mengusulkan pembuatan regulasi tetsebut, dewan tidak pernah diajak duduk bersama untuk membahas itu. “Jadi langsung ditodong dengan paparan lisan dan langsung diminta membuat payung hukum,” kata Politisi PDI-P itu.
Menurut Atty, seharusnya sebelum pemkot mengusulkan pembuatan perda yang krusial, setidaknya dewan diberikan penjelasan secara utuh sambil memberikan data-data yang dibutuhkan.
“Ya, mestinya jelaskan dulu. Obligasi dan dana cadangan untuk apa. Kalau untuk pembangunan RSUD itu berapa tingkat? Fasilitas apa saja? Kemudian sudah disiapkan belum kalau mau bangun RS tipe C,” ungkapnya.
Lebih lanjut Sekretaris DPC PDIP Kota Bogor menegaskan, pemerintah seharusnya dapat memaksimalkan bantuan APBN atau provinsi. Contohnya seperti bantuan provinsi soal dua proyek untuk PDAM Tirta Pakuan yang tak mampu diserap oleh Dinas PUPR.
“Dalam membentuk peraturan harus memenuhi dua syarat, yakno formal dan materil. Baiknya pemkot meyakinkan dulu dewan soal kebutuhan perda itu,” tegas dia.
Sebelumnya, Wakil Walikota Bogor, Dedie A Rachim menuturkan bahwa obligasi daerah merupakan program Kementerian Keuangan dalam memberikan solusi pembiayaan proyek daerah yang melibatkan peran serta masyarakat.
“Kota Bogor dianggap oleh Dirjen Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memenuhi kriteria untuk dijadikan salah satu daerah percontohan,” kata Mantan Pejabat KPK itu.
Dedie mengatakan bahwa tujuan pemerintah membuat Perda Obligasi lantaran ada potensi kegiatan pembangunan lanjutan RSUD Kota Bogor yang membutuhkan sekitar Rp200 miliar.
“Selain membangun GOR Kayumanis dan Rumah Sakit Tipe C. Kalau kita menggunakan APBD, pemkot akan kekurangan anggaran untuk pos lainnya,” ujar Dedie.
Menurut dia, pemkot masih memiliki opsi lain, apabila dewan menolak obligasi. Yakni, menjalin kerjasama dengan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) yang bergerak dalam bidang pembiayaan infrastruktur atau program BJB Indah.
“Prinsipnya sama, bedanya SMI dan BJB Indah skema mirip pinjaman komersial perbankan, namun dengan bunga rendah,” ungkap orang nomor dua di kota hujan itu.
Kata Dedie, teknis pembayarannya menggunakan cadangan keuangan pemerintah daerah yang sudah dialokasikan. Saat disinggung berapa persen bunga yang harus dibayarkan pemkot bila langkah tersebut ditempuh. Dedie hanya mengaku belum mengetahuinya. “Ya, yang pasti bunganya rendah,” ucapnya.
Sebelumnya, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik Yusfitriadi mengatakan bahwa rencana penerapan obligasi itu tidak tepat. “Tingkat kota kok pinjam-pinjam. Kalau negara okelah. Kalau kota atau kabupaten kan masih punya provinsi dan pemerintah pusat. Saya pikir dalam menjalankan pemerintahan bukan urusan hutang-hutangan,” katanya.
Yus menyatakan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan oleh Pemkot Bogor dalam masalah pengembangan daerah. Pertama adalah kecermatan mengkalkulasi orientasi pembangunan.
“Itu dihitung, kita ini perlu uang pinjaman atau tidak. Kemudian yang kedua adalah pemerintah harus transparan dalam pengelolaan keuangan yang ada di tiap OPD. Jangan-jangan berapapun uang yang dimiliki akan selalu kurang, bila kebocoran terjadi dimana-mana,” tambah dia.
Masih kata Yus, sudah saatnya pemerintah melibatkan stakeholder atau masyarakat untuk penguatan pembangunan. Sebab, berapapun dana APBD takkan cukup menuntaskan permasalahan, bila tak ada sinergitas dengan stakeholder.
“Masyarakat mesti dilibatkan agar punya tanggung jawab dalam penguatan pembangunan. Jangan hanya dijadikan objek eksploitasi atas nama pembangunan. Jadi nggak perlulah pinjam-pinjam. Kalau pemerintah sudah akuntabel dan transparan, nggak butuh itu obligasi,” pungkas pengamat tersebut. (*)









