Dengan sanksi disegel, ditutup bagi restoran, rumah makan dan tempat usaha dan sanksi sosial membersihkan fasilitas umum dan saksi pidana denda mulai Rp50 ribu sampai dengan Rp50 juta.
“Yang pertama muncul dalam benak saya adalah pertanyaan apakah walikota mempunyai kewenangan menetapkan sanksi administratif, sosial dan pidana pada badan usaha dan perseorangan berdasarkan Perwali,” ungkapnya.
Atas dasar hal tersebut pihaknya atas nama DPD Partai Solidariras Indonesia Kota Bogor membuat siaran pers yang berisi, pertama
penerapan saksi administratif dan saksi pidana pada badan hukum dan atau subyek hukum perseorangan adalah sebuah pengekangan, paksaan yang melanggar hak asasi manusia.
Sehingga untuk dapat diterapkannya sanksi adminitratif dan atau pidana memerlukan persetujuan dari badan hukum atau subyek hukum perseorangan itu sendiri dalam suatu mekanisme legislasi.
Hal itu harus dibahas bersama oleh wakil-wakil subyek hukum pereorang tsb di lembaga legislasi yaitu DPR/ DPRD dan wajib mendapat persetujuan parlemen DPR atau DPRD.
Peletakkan kewenangan tersebut adalah sesuai dengan teori Trias Politika (pembagian kekuasaan) eksekutif, legislatif dan yudikatif. Eksekutif tidak boleh membuat regulasi yg mengekang hak asasi manusia tanpa persetujuan parlemen yang dituangkan secara limitatif dalam UU.
“Walikota Bima Arya anda telah membuat sanksi administratif dan sanksi pidana denda dlm bentuk aturan Perwali tanpa persetujuan DPRD KOTA Bogor,” tegasnya.









