Emil melanjutkan, terkait kemungkinan dilakukannya relaksasi atau pelonggaran pada PSBB Jabar, Kang Emil mengatakan bahwa ada 63 persen wilayah Jabar yang memungkinkan untuk relaksasi, sedangkan 37 persen wilayah lainnya masih perlu diwaspadai karena pergerakan data COVID-19 di daerah tersebut belum dinilai aman.
“Jadi yang 63 persen punya potensi untuk dilakukan relaksasi pasca PSBB, karena data menunjukkan pergerakan tidak ada di 63 persen wilayah Jawa Barat itu, maka 63 persen ini kemungkinan bisa kembali ke situasi yang lebih normal setelah kita lakukan evaluasi,” ucap Emil.
Meski begitu, terkait transportasi publik, Emil berujar bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Jabar masih memiliki kekhawatiran akan adanya penularan. Pasalnya, saat dilakukan tes masif di terminal dan stasiun, hasilnya 1 persen di antaranya positif COVID-19.
“Kami khawatir untuk relaksasi di transportasi publik, karena takut (transportasi) ditunggangi oleh pemudik-pemudik dan oleh para OTG (Orang Tanpa Gejala), karena data menunjukkan dari terminal dan stasiun yang kami tes ada 1 persen mereka yang dites ini positif,” katanya.
Sebelum menggelar konferensi pers, Emil lebih dulu mengikuti video conference rapat terbatas (ratas) evaluasi pelaksanaan PSBB bersama Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo.
Dalam ratas tersebut, dia menyebutkan bahwa Presiden RI berpesan agar pemerintah daerah melakukan diskusi lebih lanjut dengan para ulama untuk menentukan kriteria urgensi pelaksanaan salat Idul Fitri 1441 H atau Lebaran 2020.
Emil pun menegaskan, pihaknya akan mengikuti arahan Presiden RI tersebut. Jika hasil diskusi menunjukkan penurunan situasi kedaruratan, maka tidak menutup kemungkinan beberapa daerah di Jabar diperbolehkan melaksanakan salat Idul Fitri dan kegiatan ibadah lainnya, namun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
“Arahan presiden terkait Idul Fitri, meminta daerah melakukan diskusi dengan ulama untuk menentukan kriteria-kriteria (situasi kedaruratan) ini. Lebaran bisa berlangsung normal berbasis jarak atau tetap tidak dilakukan dengan alasan kedaruratan,” ujar Emil.
“Tapi kalau sudah secara ilmiah tidak ada ancaman kedaruratan lagi, ibadah bisa disarankan kembali ke normal dengan protokol kesehatan,” tandasnya. (*)









