Harian Sederhana – Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan pasal 28 H Amandemen UUD 1945, bahwa rumah adalah salah satu hak dasar rakyat dan oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Pemerintah harus berupaya semaksimal mungkin untuk memastikan terpenuhinya hak tersebut. Untuk masyarakat Depok melalui Perda tentang Rencana Pembangunan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (RP3KP), Kota Depok akan mengatur terpenuhinya semua hak rakyat Depok serta penataan kawasan kumuhnya secara bertahap.
Permasahalan perumahan dan pemukiman yang pertama, rakyat punya tanah tapi miskin, tidak bisa membangun dan kalau dijual tidak bisa untuk membeli rumah. Kedua, masyarakat yang tak punya tanah tapi punya uang sedikit dan tidak cukup untuk beli rumah seperti Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), jadilah kontrak atau sewa rumah seumur hidupnya.
Yang terakhir lebih menyedihkan, yakni tidak punya apa-apa yaitu para gelandangan dan kaum fakir miskin. Perkampungan kumuh tumbuh dimana-mana dan menjadi pemandangan disetiap pinggiran kota. Lalu bagaimana ini pemerintah menanganinya ?.
Sedikit pengetahuan tentang ketentuan klasifikasi Keluarga Sejahtera (BKKBN, ada 1997) dan Kepmen PUPR No. 552/2016 tentang batasan bantuan rumah bersubsidi terbagi menjadi 3 segmentasi yaitu :
- MBR berpenghasilan kurang dari Rp 4 juta yaitu masyarakat yang baru bisa memenuhi kebutuhan dasar.
- MBR berpenghasilan Rp 4 juta – Rp 7 juta yaitu masyarakat yang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya dengan baik, tetapi belum bisa menabung.
- MBM/A (Masyarakat Berpenghasilan Menengah/A) berpenghasilan lebih dari Rp 7 juta yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar dan dapat menabung (relatif mapan).
Kembali kepada tema rumah adalah hak bagi rakyat, selama ini pemerintah baru bisa melakukan perbaikan rumah tidak layak huni yang lebih kita kenal dengan istilah program Rutilahu atau RTLH (Rumah Tidak Layak Huni).
Program ini dibiayai oleh APBD provinsi atau kota/kabupaten. Besarnya pun berbeda-beda, kalau dari Jawa Barat berkisar Rp 17 juta dengan istilah Rutilahu perbaikan aladin (atap lantai dan dinding).
Setiap tahun tidak kurang 20 ribu rumah mendapat program Rutilahu. Kalau di Kota Depok mungkin lebih besar sekitar anggaran RTLH-nya kisaran Rp 20 juta. Itu bagi yang punya rumah tidak layak huni. Ternyata datanya masih banyak yang belum mendapatkan program tersebut. Lalu untuk yang belum punya rumah bagaimana, yah belum ada program.
DKI Jakarta sudah punya programnya yaitu janji kampanye Anis-Sandi DP rumah 0 rupiah untuk warga Jakarta yang belum punya rumah dan berpenghasilan rendah. Dalam program pemerintah melalui Kementrian PUPR anggaran untuk pembangunan rumah sebenarnya sudah disediakan dengan beberapa mekanisme. Bisa dilakukan oleh pemda kota/kabupaten atau pemprov melalui BUMD atau pihak ke-3 yang dikerjasamakan.
Pemerintah Kota Depok punya data berapa backlog yang dibutuhkan dan data lahannya. Lahan milik pemerintah kota atau propinsi bahkan pusat yang bisa dibangunkan oleh Kementrian PUPR.
Sudah tentu jika tanah aset pemerintah maka sistemnya rusunawa (sewa). Tapi jika tanah itu milik kelompok orang atau lembaga maka statusnya bisa menjadi hak milik seperti yang dilakukan di Jawa Tengah.
Masyarakat beli tanah patungan difasilitasi permprov melalui pinjaman bank dan bangunan gratis dari Kementrian PUPR. Benar-benar murah rakyat bisa memiliki rumah hanya membayar tanah saja dan tanahnya menyicil di bank. Semoga Depok bisa meniru program tersebut.
Raperda P3KP Kota Depok disusun tahun 2017-2018. Backlog (jumlah kebutuhan rumah) tahun 2015 adalah 1.638 unit. Masih banyak satu rumah di Depok dihuni lebih dari satu keluarga padahal idealnya satu rumah dihuni satu keluarga.
Pertumbuhan penduduk Depok sangat tinggi, maka proyeksi kebutuhan rumah baru sampai tahun 2036 (untuk mengatasi backlog dan pertumbuhan penduduk) sebanyak 749.700 unit.
Sesudah dianalisis berdasarkan RDTR Kota Depok, sisa lahan permukiman hanya mampu menampung 376.600 unit rumah (sudah termasuk hunian vertikal). Sehingga ada sisa kebutuhan 373.100 unit rumah yang tidak dapat ditampung di Depok.
Dari kekurangan lahan apakah harus ada larangan urbanisasi ke Kota Depok, wah sepertinya hal ini tidak mungkin bisa dilaksanakan. Kementerian PUPR menyarankan agar untuk rumah baru yang boleh dibangun (izin baru) di Kota Depok hanya untuk rumah vertikal saja.
Kedua, harus ada kerjasama dengan daerah sekitar Depok untuk mengatasi masalah perumahan tersebut yang dikoordinasikan oleh Pemprov Jawa Barat. Jika saran ini tidak dilaksanakan, kemungkinan Depok akan menjadi kumuh dan kerawanan sosial ekonomi akan menjadi besar kedepan. (*)









