Oleh : Prof. Syahrir Ika
Peneliti Ahli Utama BRIN/Ketua Umum Perhimpunan Petiset Indonesia (PPI)
Mengenal SAL dan SILPA
Banyak orang mendengar istilah SAL dan SILPA tapi belum paham betul artinya. Sederhananya, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) adalah uang sisa dari APBN di satu tahun tertentu, bisa karena belanja tidak terserap atau penerimaan lebih besar dari target. Sedangkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) adalah akumulasi SILPA dari tahun-tahun sebelumnya.
Kalau diibaratkan rumah tangga, SILPA itu sisa uang belanja bulanan, sementara SAL adalah tabungan yang terkumpul dari sisa-sisa itu. Fungsinya jelas: jadi cadangan untuk kebutuhan mendesak, penyelamat ketika ada krisis, atau bantalan agar keuangan negara tetap stabil. Masalahnya, kalau terlalu lama dibiarkan mengendap, tabungan itu tidak memberi manfaat nyata bagi ekonomi.
*Debat Imajinatif: SMI vs Purbaya*
Bayangkan ada perdebatan terbuka antara dua menteri keuangan: Sri Mulyani Indrawati (SMI) dan Purbaya Yudi Sadewa (PYS).
SMI berkata dengan tegas:
“Jangan sembarangan membelanjakan SAL. Uang negara harus dijaga dengan disiplin. Kalau terlalu cepat dihamburkan, risiko inflasi dan defisit membengkak. Ingat, kredibilitas fiskal adalah modal kepercayaan investor.”
Purbaya menimpali dengan nada bersemangat:
“Justru karena uang terlalu lama tidur di Bank Indonesia, ekonomi kita jalan di tempat. Uang negara harus bekerja, bukan diam. UMKM kehilangan momentum, konsumsi melemah, dan pertumbuhan mandek di 5%.”
Debat ini memperlihatkan dua filosofi fiskal: SMI dengan pendekatan hati-hati, Purbaya dengan semangat agresif.
*Peran G: Seberapa Penting Belanja Negara?*
SMI mengingatkan bahwa belanja negara (G) dalam APBN sebenarnya hanya sekitar 10 persen dari ekonomi nasional. Artinya, pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditentukan oleh swasta. “Fiskal itu katalis,” ujarnya, “yang penting bagaimana swasta ikut bergerak.”
Namun Purbaya punya pandangan lain: “Kalau SAL dipakai dengan cerdas, bisa menurunkan biaya dana perbankan dan membuat kredit lebih murah. Dari sini swasta justru bisa lebih aktif. Jadi meskipun porsi G kecil, efek gandanya bisa besar.”
Aspek Hukum: Catatan SMI untuk Purbaya
SMI lalu memberi catatan keras:
“Purbaya, jangan lupa aturan hukum. SAL adalah kekayaan negara yang pengelolaannya diatur ketat dalam UU No. 1 Tahun 2004. Pasal 41 jelas menyebut, investasi pemerintah tidak boleh menimbulkan risiko yang membahayakan APBN. Kalau penempatan dana SAL di perbankan ditafsirkan keluar dari aturan itu, bisa dianggap pelanggaran keuangan negara.”
Purbaya menanggapi santai:
“Saya tidak melanggar, Bu. Justru ini bagian dari kewenangan pemerintah untuk mengelola investasi negara. Tujuannya memperkuat likuiditas dan menurunkan biaya dana agar kredit lebih terjangkau. Pasal 41 memberi ruang untuk itu.”
SMI tetap menegaskan, “Kreativitas fiskal boleh, tapi jangan sampai jadi bumerang hukum. Kepercayaan publik dan pasar dibangun bukan hanya dari hasil, tapi juga dari kepatuhan aturan.”
Refleksi
Perdebatan imajinatif ini menggambarkan dua wajah fiskal Indonesia. Sri Mulyani menekankan stabilitas, disiplin, dan legalitas, sementara Purbaya mendorong keberanian, likuiditas, dan akselerasi pertumbuhan.
Mungkin jalan tengahnya adalah kombinasi keduanya: uang negara harus tetap aman, tapi juga tidak boleh diam terlalu lama. Dengan keseimbangan ini, fiskal bisa tetap kredibel sekaligus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.









