Harian Sederhana, Depok – Selama Januari sampai November 2019, sebanyak 571 gugatan perceraian Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diterima dan tercatat di Pengadilan Agama (PA) Kota Depok. Dari jumlah tersebut, sebanyak 210 perkara sudah putus cerai sedangkan 361 perkara lainnya masih dalam proses.
ASN yang bercerai tercatat dari lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Depok, ada juga dari lembaga atau instansi lain. Dari data yang dimiliki PA Depok, pada Januari 2019 sebanyak 70 perkara cerai ASN yang masuk, dan dari jumlah itu, sebanyak 27 perkara sudah diputus cerai sedangkan 43 perkara lainnya masih proses.
Humas Pengadilan Agama Kota Depok, Dindin Syarief Nurwahyudin menuturkan, perkara yang sudah diputus cerai sejak Januari-April 2019 sebanyak 87 perkara, semuanya mengantongi izin dari atasannya. Sesuai PP No. 10 1983 jo PP No. 45 1990, ASN yang mengajukan cerai atau poligami harus mendapat izin dari atasannya.
“Jadi berbeda ya gugat cerai ASN dengan masyarakat lainnya. Jadi ASN kalau mengajukan cerai atau poligami itu harus ada izin atasannya,” tuturnya ketika dikonfirmasi wartawan pada Jumat (13/12).
Untuk gugatan cerai ASN sejak Mei-November 2019, sambung Dindin, ada sebanyak 123 perkara yang diputus cerai. Tapi hanya tiga perkara yang mendapat izin dari atasan sementara 56 perkara tidak ada izin atasan dan 64 perkara tidak ada persetujuan dari atasan.
Dindin menerangkan, bilamana seorang ASN mengajukan cerai, yang bersangkutan harus mengantongi izin bercerai dari atasannya. Tetapi kalau seorang ASN selaku pihak tergugat/termohon cerai, yang bersangkutan harus mengantongi persetujuan dari atasan.
“Kenapa kalau mau mengguat cerai ASN harus mendapat izin atasan, karena itu menyangkut proses kepegawaian di internal mereka dan ini sifatnya wajib atau mandatory di Pengadilan Agama. Tapi kalau ASN bertindak selaku tergugat surat persetujuan tidak wajib, tapi sebaiknya ada,” kata Dindin.
Biasanya, pengadilan memberikan waktu selama 6 bulan kepada ASN yang bersangkutan untuk mengurus dan melampirkan surat izin cerai dari atasan sejak gugatan di daftarkan ke pengadilan.
Apabila setelah enam bulan, lanjut Dindin, yang bersangkutan tetap tidak bisa memunculkan surat izin dari atasan, maka yang bersangkutan harus membuat surat pernyataan siap menanggung resikonya.
“Resiko di PP No. 10 Tahun 1983 ini berbeda-beda sesuai kebijakan instansi atau lembaganya. Bahkan ada ASN yang sampai dipecat karena dinilai melakukan pelanggaran disiplin, cerai tanpa izin atasan,” ungkapnya.
Dindin membeberkan, faktor ekonomi yang sudah mapan bagi ASN ternyata tidak menjadi jaminan keharmonisan di dalam rumah tangga. Kebanyakan kasus yang bersidang cerai di pengadilan disebabkan karena penggunaan media sosial yang kurang bijaksana.
“Secara ekonomi kan ASN bisa disebut mapan, akhirnya mereka mencari kesibukan, iseng-iseng kenalan dengan lawan jenis, foto-foto di posting di media sosial, WhatsApp, Line, Facebook, Instagram, Twitter dan lain-lain. Cemburu akhirnya, menimbulkan pertengkarang, memuncak akhirnya cerai,” cerita Dindin.
“Buktinya apa? mereka di persidangan mengajukan bukti-bukti print out dari media sosial tadi banyak sekali. Maka harus bijaksana dalam menggunakan medsos ini,” imbuhnya.
Jika dibandingkan jumlah antara cerai talak dengan cerai gugat selama 2019 yaitu dari 210 perkara cerai yang putus terdapat sebanyak 71 cerai talak dan 139 cerai gugat.
Sedangkan di 361 perkara cerai yang masih proses di pengadilan yaitu 136 perkara cerai talak dan 225 perkara gugatan cerai.
“Kalau cerai talak, pemohon atau penggugat adalah pihak laki-laki sedangkan cerai gugat sebaliknya. Kalau dilihat tren angka perkara yang masih berposes dan perkara yang sudah putus lebih banyak kaum hawa yang mengguat cerai pasangannya,” ujarnya.
Beberapa waktu lalu, Wali Kota Depok, Mohammad Idris mengaku prihatin melihat tingginya angka perceraian ASN tahun 2019. Pasalnya Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Depok sudah sering melakukan kegiatan sosialisasi dan pembinaan peraturan kepegawaian terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 1990.
“Sosialisasi aturan izin menikah dan cerai, ini mestinya dapat meminimalisir kesalahan pegawai pemerintah saat melakukan tindakan tertentu yang berkaitan dengan hukum. ASN penting mendapatkan sosialisasi ini agar mereka paham terkait aturan izin nikah dan cerai,” tuturnya.
Idris menambahkan, pihaknya akan kembali menggencarkan sosialisasi pemahaman izin nikah dan cerai di kalangan ASN Pemkot Depok untuk mengantisipasi hal serupa tahun depan.
“Namanya manusia kan suka lupa. Sebenarnya sudah tahu cuma ada sedikit perubahan aturan-aturan tertentu terkait dengan ASN yang perlu disampaikan kembali,” kata Idris.
Menurut Idris, poin yang direvisi dari PP No 10 Tahun 1983 adalah adanya perubahan bagi ASN laki-laki yang ingin menikah lagi. Sebelumnya, larangan itu bersifat mutlak. Namun kini diperbolehkan dengan syarat mendapatkan izin dari istri pertama secara tertulis.
“Adapun bagi ASN perempuan, melalui peraturan tersebut dengan tegas dilarang menjadi istri kedua. Kalau tetap ingin seperti itu, maka yang bersangkutan harus mengundurkan diri sebagai ASN,” tutup orang nomor satu di Kota Depok ini. (*)









