Harian Sederhana, Depok – Wacana penerapan Electronic Road Pricing (ERP) atau jalan berbayar oleh Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) mendapatkan suara sumbang dari sejumlah pemerintah daerah. Bukan hanya pemerintah daerah, masyarakat juga mengeluhkan wacana tersebut.
Pengamat transportasi, Niwono Joga mengatakan, penerapan ERP harus diikuti atau didukung dengan pelayanan dari moda transportasi yang terintegrasi. Pasalnya, tujuan utama dari aturan itu adalah memecah kemacetan dengan cara mengurangi arus kendaraan masuk.
“Tanpa armada angkutan umum yang terintegrasi, sulit mendorong masyarakat untuk beralih (dari kendaraan pribadi ke angkutan umum),” tutur Niwono kepada wartawan, Minggu (24/11).
Ketika, nantinya kebijakan tersebut dipaksakan sedangkan sarana dan prasarana transportasi umum belum dipenuhi maka masyarakat hanya akan mencuri-curi kesempatan untuk melewati jalan raya yang telah diterapkan ERP. Bahkan, sambungnya, pengendara akan mencari alternatif jalan lain.
“Artinya, kemacetan lalu lintas tetap akan terjadi hanya tempat dan waktunya saja yang berpindah,” bebernya.
ERP menurut dia, bisa diterapkan namun harus bertahap dengan lokasi yang dipilih secara ketat dan harus dievaluasi maksimal enam bulan. “Ini untuk mengetahui efektifnya kebijakan tersebut. Selain itu, peningkatan pelayanan angkutan umum tentunya,” jelasnya.
Namun, diakuinya aturan tersebut memang perlu dikaji lebih jauh. Pihak BPTJ tidak bisa menerapkannya begitu saja. “Karena, memang masih banyak PR yang harus dibereskan dulu seperti dukungan dari pemda, masalah pembiayaan dan pemasukan dana, juga penambahan angkutan umumnya,” tegas Niwono.
Sementara itu Pakar Transportasi Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung menerangkan ada baiknya BPTJ menerapkan terlebih dahulu aturan ERP di DKI Jakarta sebelum di daerah.
“Ya, seharusnya memang diterapkan di Ibu kota dulu, kalau sudah benar-benar matang baru di daerah. Selain itu perlu di kaji juga, nanti kan itu berbayar penghasilannya nanti dikemanakan. Semua harus jelas,” pungkasnya.
Sementara itu, Bambang Prihartono selaku Kepala BPTJ mengatakan ERP menjadi kewenangan pihaknya dan memang ditargetkan di tahun 2020. Meskipun begitu, sejauh mana implementasinya dapat dilakukan masih bergantung pada pembahasan berbagai skema pendukung yang saat ini masih berlangsung.
Ia menerangkan, pembahasan menyangkut skema pendukung sudah dimulai beberapa bulan lalu diantaranya melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan melibatkan semua stakeholder termasuk pemerintah daerah. Pembahasan pun dilanjutkan lebih spesifik baik dengan instansi lain maupun internal dengan melibatkan tenaga ahli.
“Skema-skema pendukung yang dibahas diantaranya meliputi skema hukum, skema kelembagaan, skema pembiayaan maupun skema teknik. Sesuai lingkup kewenangan, ERP yang dapat diimplementasikan oleh BPTJ ada pada area perbatasan antar wilayah yang merupakan jalan nasional, berbeda dengan DKI Jakarta yang memiliki kewenangan implementasi di jalan-jalan di dalam wilayahnya,” tutur Bambang seperti rilis yang diterima Harian Sederhana, Kamis (21/11).
Selain telah menjadi amanat dari Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ), implementasi kebijakan ERP dirasakan sudah mendesak mengingat pertumbuhan pergerakan di Jabodetabek yang luar biasa.
“Apabila pada tahun 2015 pergerakan manusia di Jabodetabek tercatat masih sekitar 47,5 juta pergerakan per hari, maka data tahun 2018 menyebut pergerakan sudah meningkat menjadi 88 juta pergerakan per hari,” kata Bambang.
Namun demikian dari 88 juta pergerakan per hari, hanya sekitar 8 persen yang menggunakan angkutan umum untuk tujuan aktifitas ke tempat kerja dan rutinitas lainnya.
“Sementara itu kebijakan ganjil-genap yang diterapkan untuk mengendalikan kemacetan tidak mungkin efektif selamannya. Oleh karena indikasi yang muncul adalah kemacetan akan meningkat pada jam-jam dan waktu tertentu terutama di ruas-ruas jalan yang menjadi rute komuter para pengguna kendaraan pribadi,” lanjutnya.
Bambang Prihartono menjelaskan bahwa pembahasan menyangkut skema hukum saat ini memang belum menemukan solusi payung hukum yang sesuai untuk penerapan ERP di jalan nasional. Apabila mengacu pada PP Nomor 32 tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak serta Manajemen Kebutuhan Lalu-Lintas, implementasi ERP memang tidak dimungkinkan di jalan nasional.
Namun, menurut Bambang justru masalah ini perlu dipecahkan karena pada kenyataannya kondisi yang berkembang di Jabodetabek menuntut adanya implementasi ERP di jalan nasional.
“Kami terus berupaya untuk memecahkan masalah menyangkut skema hukum ini dan secara paralel kami juga membahas skema-skema lain seperti skema pembiayaan, skema teknis ataupun skema kelembagaan, sehingga jika nanti skema hukum terpecahkan, sudah tersusun formula kebijakan yang siap diimplementasikan,” urai Bambang. (*)









