Harian Sederhana, Depok – Kasus dugaan korupsi mantan Wali Kota Depok, Nur Mahmudi Ismail (NMI) tampaknya masih berjalan di tempat. Hal ini lantaran Kejari Depok masih menanti kelengkapan berkas perkara yang ditangani pihak penyidik Polresta Depok.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Depok, Yudi Triadi mengatakan, hingga detik ini pihaknya masih menunggu kelengkapan berkas perkara yang ditangani pihak penyidik Polresta Depok. Yudi menerangkan, ada petunjuk-petunjuk perkara yang belum dipenuhi dan perkara ini sudah di ekspos bersama dengan KPK di Bandung.
Ketika itu, Yudi mengatakan KPK juga turut menyatakan bahwa perkara NMI belum cukup bukti sama halnya dengan pandangan dari pihak Kejari Depok.
“Hasil dari pemeriksaan memang belum meyakinkan JPU (Jaksa Penuntut Umum) untuk dilimpahkan ke pengadilan. Jadi, kami juga butuh keyakinan,” kata Yudi kepada wartawam seusai Pisah Sambut Kepala Seksi Tindak Pidana Umum (Kasi Pidum) di Aula Kejaksaan Negeri Depok, Kota Kembang, Cilodong, Depok, Senin (11/11).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), perkara bisa dilimpahkan kepada pengadilan jika sudah memenuhi syarat salah satunya adanya dua alat bukti. Namun Yudi menegaskan, meskipun ada 1.000 alat bukti jika hakim tak yakin maka perkara bisa saja di putus bebas.
“Nah, kami menjaga itu, kasihan nanti (hakimnya), kita juga punya tanggung jawab. Jadi, kami sekarang ini sedang menunggu petunjuk,” tutur Yudi.
Petunjuk yang dimaksud Yudi adalah berdasarkam dari laporan Jaksa Peneliti (P16) yang hingga saat ini dinilai belum lengkap. Untuk melengkapinya, pria yang baru saja menjabat sebagai Kajari Depok pada 24 Oktober lalu ini mengatakan, wewenang ada di pihak penyidik Polresta Depok.
Saat ditanya adakah batasan waktu selama proses penyelidikan, Yudi lagi-lagi mengatakan hal tersebut berdasarkan aturan yang tertuang dalam KUHAP. Dalam aturan tersebut, kata Yudi, menyatakan bahwa tidak ada batas waktu, semua tergantung dari penyidik.
Jika penyidik sudah merasa melakukan penyelidikan maksimal, maka berkas sudah bisa dilimpahkan ke kejaksaan yang kemudian berlanjut ke Pengadilan Negeri.
“Jadi, kalau sudah maksimal, ya silakan (dilimpahkan ke Kejari), jadi jangan membebankan beban penyidikan kepada Kejaksaan,” tutur Yudi.
Pernyataan Yudi tersebut dikatakan pria berkacamata ini juga untuk menjawab semua pemberitaan yang mengabarkan bahwa Kejari Depok tidak juga menuntaskan kasus Nur Mahmudi yang telah dinyatakan sebagai tersangka sejak Agustus 2018.
“Kecuali sudah sudah eksekusi. Saat ini masih full (kewenangan) di penyidik, pada saat sudah diserahkan ke kami (Kejari), itu lah baru kewenangan kami,” kata Yudi.
Setahun Sudah Terlewati
Seperti diketahui, kasus perkara dugaan korupsi pengadaan lahan Jalan Nangka yang melibatkan mantan Wali Kota Depok, NMI hingga saat ini masih penuh misteri. Apalagi saat ini kasus itu sudah berjalan satu tahun lebih semenjak NMI ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2018 lalu oleh Polresta Depok.
Adapun berkas perkara tersebut saat ini belum juga dirampungkan oleh penyidik Tipikor Polresta Depok. Berkas perkara Nur Mahmudi Ismail dan juga mantan Sekretaris Daerah Kota Depok Harry Prihanto yang terlibat dalam kasus ini sudah empat kali bolak balik antara Polresta Depok dan Kejaksaan Negeri Depok.
Kapolresta Depok AKBP Azis Andriansyah yakin berkas tersebut akan rampung dan akan diserahkan kepada Kejaksaan Negeri Kota Depok. “Masih di kami berkasnya dan akan kami lengkapi, nanti kalau sudah lengkap baru kami limpahkan ke Kejaksaan Negeri Depok,” ujar Aziz pada 27 September 2019 lalu.
Berkas kasus korupsi pembebasan lahan di Jalan Nangka tersebut saling lempar antara lembaga Bhayangkara dan Adhyaksa sejak pertama kali dilimpahkan 21 Sepetember 2018. Lalu, dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Negeri Kota Depok pada 4 Oktober 2018.
Bolak baliknya berkas itu pun sudah terjadi sebanyak 4 kali dan saat ini mandek di penyidik Polresta Depok dan belum dikembalikan lagi ke Kejaksaan Negeri Depok.
Sufari selaku Kejari Depok saat ini mengatakan sejak penyidik mengirim Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara ke Kejari Depok, pihaknya telah memberi petunjuk yang sama sebanyak empat kali. Sayangnya, penyidik belum juga melengkapi petunjuk itu.
Sufari saat itu sempat membeberkan sederet alasan kenapa berkas kedua tersangka selalu dikembalikan ke penyidik Polresta Depok.
“Begini, jadi JPU (Jaksa Penuntut Umum) itu kan mempunyai kewajiban secara hukum sesuai KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) harus meneliti berkas. Pada saat pertama kita kan sudah meneliti. Dari berkas pertama itu kita memberikan petunjuk namanya P-19,” katanya pada 16 Januari 2019.
Selanjutnya, berkas itu dikembalikan ke penyidik agar dilakukan pembenahan dalam waktu 14 hari. “Setelah segala macam kemudian dikirim ke kita kembali, nah oleh jaksa dilakukan penelitian. Ternyata P 19 kami belum terpenuhi, belum dilengkapi,” ujarnya.
Sufari menjelaskan, sesuai dengan KUHAP, penyidik mempunyai kewajiban untuk melengkapi kembali dengan batas waktu 14 hari. Dan ketika memang mau dilengkapi, maka berkas itu pun harus dikembalikan oleh jaksa ke penyidik.
“Setelah tiga kali dikembalikan, kemudian kita melakukan penelitian kembali. Ternyata P19 juga belum dilengkapi. Itu secara prosedur seperti itu,” imbuh Sufari.
Ketika dicecar soal materi apa yang harus dilengkapi, Sufari menjelaskan, secara hukum acara, suatu perkara dinyatakan lengkap apabila terpenuhi syarat formil dan materil. Ketika dua hal itu tidak dipenuhi maka berkas tidak layak dilimpahkan ke pengadilan.
“Syarat formil kita sudah memberikan petunjuk. Syarat materil kita juga sudah memberikan petunjuk,” kata Sufari.
Adapun petunjuk materil itu, lanjut Sufari, adalah perbuatan tersangka harus didukung oleh alat bukti dan barang bukti. Sehingga itu bisa memenuhi unsur. Ketika perbuatan tersangka itu tidak dilengkapi atau tidak didukung oleh alat bukti dan barang bukti maka secara materil berkas perkara belum dinyatakan lengkap.
“Apa saja hal itu, ya tentu kita serahkan pada penyidik tidak bisa kita sampaikan secara umum. Petunjuk itu kan sudah kami berikan pada penyidik. Secara hukum, kita tidak bisa menyampaikan secara terbuka,” dalihnya
“Tidak semua yang transparan itu harus dibeberkan pada masyrakat,” timpalnya lagi.
Jaksa, lanjut Sufari, mempunyai kewajiban untuk memenuhi syarat-syarat dalam KUHAP kepada penyidik. “Jadi tidak ada istilah berkasnya bolak-balik. Kami hanya memberikan petunjuk sekali. Selanjutnya kami meneliti kembali apakah petunjuk kami yang pertama terpenuhi atau tidak,” tegasnya.
Sufari membantah ketika disinggung adanya ketidak singkronan antara tim penyidik dengan tim kejaksaan dalam kasus tersebut.
“Tidak ada itu ketidaksinkronan. Kami tidak pernah mengatakan itu perdata. Kami memberikan petunjuk. Petunjuk itu kalau dilengkapi ya harus kita jalan dong. Itu saja. Tidak ada perbedaan persepsi,” katanya.
Kewajiban dari jaksa peneliti itu, ujar Sufari, adalah memberikan petunjuk. Kalau sudah selesai berarti sudah memenuhi persyaratan. “Petunjuk kami sudah jelas, siapaun bisa baca, siapapun bisa menilai tentu dari penegak hukum,” tuturnya.
Soal status tersangka apakah bisa bebas atau tidak, Sufari menegaskan, itu bukan kewenangan jaksa. Menurutnya, jaksa itu kewajibannya hanya memberikan petunjuk terhadap hasil penyelidikan yang berupa berkas tersebut. Selain dari itu, jaksa tidak bisa memberikan komentar karena bukan kewenangannya.
“Jadi jangan terlalu berandai-andai ke sana. Selangkah demi selangkah harus kita selesaikan,” imbuh Sufari.
Yang jelas, lanjut Sufari, pihaknya berkomitmen untuk menangani perkara korupsi. Termasuk yang saat ini sedang menjerat dua mantan pejabat Depok tersebut.
“Kalau tidak komit ngapain kita beri petunjuk. Jadi memberi petunjuk itu suatu bentuk kesungguhan kami. Itu bisa dinilai secara akademis maupun ilmiah. Silahkan itu di dalami, diartikan masing-masing,” ujarnya.
“Sepanjang itu dilengkapi pasti kita jalan. Dalam KUHAP itu ada azas praduga tak bersalah. Semuanya ada tolak ukurnya. Jadi jelas ya,” tandas Sufari.
Untuk diketahui, Nur Mahmudi dan mantan anak buahnya, Harry Prihanto telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan korupsi pembebasan Jalan Nangka, Kecamatan Tapos, pada 20 Agustus 2018 lalu. Keduanya diduga merugikan negara senilai Rp 10,7 miliar.
Dana tersebut disebut-sebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah atau APBD yang keluar tanpa persetujuan DPRD setempat. Hingga kini, proyek itu belum jelas. (*)









