Harian Sederhana, Depok – Ratusan penggarap yang menempati area RRI di wilayah Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya menetapkan status Siaga 1 di wilayah mereka. Hal ini menyusul dikeluarkannya surat peringatan ketiga atau SP 3 untuk melakukan pembongkaran bangunan dari Satpol PP Kota Depok.
Sebagaimana diketahui, area tersebut akan dikosongkan untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Satpol PP Kota Depok rencananya akan melakukan penertiban terhadap sejumlah bangunan yang ada di area tersebut pada Kamis (07/11).
Salah satu penggarap, Sarjana yang juga mengaku sebagai Ketua RT01/14 Kelurahan Cisalak, Kecamatan Sukmajaya menyampaikan surat itu salah sasaran karena ikut menyasar pada warga yang belum mendapat uang penggantian lahan garapan.
“Kalau bagi penggarap yang sudah menerima penggantian buat apa dikeluarkan SP 3. Langsung dibongkar saja tidak ada masalah. Dari 21 penggarap yang sudah menerima penggantian, sebagian besar sudah mengosongkan lokasinya,” ungkapnya, Rabu (06/11).
Namun, katanya lagi, karena dalam surat tersebut juga memuat daftar warga yang belum menerima penggantian telah berakibat pada timbulnya keresahan.
“Warga lain jadi resah. Kalau hanya 21 bidang yang ditertibkan silakan. Tapi kalau yang lain kena juga, dalam artian ada becko yang menyasar di luar 21 bangunan, kami tidak memahaminya dan tidak akan menerima. Kami akan melakukan perlawanan,” katanya.
Dijelaskannya, pada dasarnya para penggarap bisa menerima pelaksanaan pembangunan kampus UIII, dengan catatan mendapatkan penggantian yang sesuai atau opsi lain berupa relokasi.
“Warga merasa menjadi korban penerapan Perpres No. 62 Tahun 2018. Penggarap sudah menyampaikan tuntutan agar Perpres tersebut fleksibel dan transparan. Apalagi dalam Perpres pada Pasal 6 disebutkan ada opsi relokasi,” paparnya.
“Kami sebenarnya lebih memilih relokasi dan kami menuntut ke Komnas HAM. Di Pasal 6 jelas disampaikan diberikan santunan atau kerohiman dan atau relokasi. Tapi, ternyata tidak ada relokasi dan hanya penggantian. Itu kalau cukup (penggantiannya). Oper alih garap rata-rata Rp 250 ribu per meter persegi, belum bangunan, dan aset lain yang ada di atasnya,” imbuhnya.
Sarjana mencontohkan ketidaksesuaian dari santunan atau kerohiman yang diterima penggarap salah satunya ada masyarakat yang memiliki lahan 1800 meter persegi, terdapat bangunan, sumur, dan tanaman namun hanya mendapatkan penggantian Rp 17 juta. Padahal di atasnya ada bangunan, sumur, dan tanaman.
“Ini sangat tidak layak dan tidak adil. Besaran penggantian tidak sesuai dengan santunan yang diberikan. Warga hanya bisa mengeluh dan tidak berdaya,” tandasnya.
Karena itu, pihaknya berharap kepada pemerintah agar bisa memberikan perhatian kepada para penggarap yang telah mengeluarkan biaya cukup besar untuk membeli garapan. (*)









