Harian Sederhana, Cikarang Pusat – Keputusan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyetujui kenaikan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 561/75/Yanbangsos tentang Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2020, tampaknya membuat sejumlah elemen buruh tidak puas.
Pasalnya, surat edaran tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum dan bentuknya hanya imbauan. Hal ini membuat para buruh takut, edaran tersebut diabaikan oleh pengusaha. Karenanya, para butuh tetap ngotot agar Ridwan Kamil mengeluarkan Surat Keputusan (SK) perihak penetapan UMK.
Lantaran surat edaran tersebut, sejumlah buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menggelar aksi unjuk rasa terkait keputusan yang diambil Ridwan Kamil di sejumlah daerah Jabar. Seperti di Kabupaten Bekasi, Cirebon, Karawang, dan Purwakarta.
Di Kabupaten Bekasi sendiri, ribuan buruh dari berbagai kelompok berunjuk rasa agar Gubernur Jabar mengubah surat edaran menjadi surat keputusan di depan Komplek Perkantoran Pemerintah Kabupaten Bekasi, Cikarang Pusat, Rabu (28/11).
Mereka resah dan geram serta meminta kepada Bupati Bekasi untuk membuat surat yang ditujukan kepada Gubernur Jabar, supaya segera mencabut surat edaran, dan menetapkan melalui SK tentang UMK Jabar 2020.
Ketua Konsulat Cabang FSPMI Bekasi, Sukamto mengatakan, surat edaran yang dikeluarkan gubernur dinilainya tidak memiliki kekuatan hukum dan sifatnya hanya imbauan yang mana rentan diacuhkan oleh pengusaha.
“Untuk itu kita minta kepada Bupati Bekasi agar bersurat kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar biar buat SK tentang UMK. Gubernur lain kan sudah buat SK, cuma Jabar doang loh yang (penetapan UMK) bentuknya surat edaran,” tuturnya kepada wartawan.
Bukan itu saja, massa juga minta kepada Bupati Bekasi untuk merekomendasikan gubernur melakukan penetapan Upah Minimumun Sektoral Kabupaten/Kota 2020 sebelum Desember 2019 berakhir. “Hanya dua itu saja tuntutan kami saat ini,” kata Sukamto.
Sementara itu, Suparno selaku Sekretaris Konsulat Cabang FSPMI Bekasi mengaku, para buruh sudah sepakat dengan memberikan waktu kepada gubernur untuk segera menerbitkan SK tentang UMK 2020 paling lambat pada 2 Desember mendatang.
“Jika tidak, kami sepakat untuk ikut mogok daerah tanggal 2,3,4 Desember. Kawan-kawan buruh di Bekasi, kota maupun kabupaten, tidak usah masuk kerja. Sama-sama ke Bandung. Akan ada 100.000 buruh yang akan mogok kerja,” kata Suparno.
Unjuk rasa menuntut gubernur mengeluarkan SK UMK Jabar 2020 juga terjadi di Kabupaten Cirebon. Ratusan massa yang tergabung dalam FSPMI Cirebon Raya menyampaikan tuntutannya di dengan Kantor DPRD Kabupaten Cirebon.
Sekjen FSPMI Cirebon Raya, Mohamad Machbub menuturkan, pihaknya menolak adanya surat edaran dan meminta Pemprov Jabar tetapkan SK. Pihaknya juga meminta kepada bupati, wali kota, dan DPRD untuk melayangkan surat ke Gubernur Jabar agar menerbitkan SK UMK 2020.
“Hal ini akan membuat kondisi kesejahteraan buruh Jawa Barat semakin sulit dan daya beli masyarakat menurun, karena upah yang tidak sebanding,” katanya.
“Surat edaran itu tidak memiliki kekuatan hukum dan perusahaan tidak akan dikenakan sanksi bila mengabaikan imbauan ini,” tambah Machbub.
Machbub juga menyebut, surat itu tidak berdasarkan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, karena itu cuma bersifat imbauan. Ia juga menyebut Ridwan Kamil, dianggap telah melakukan perbuatan hukum, karena dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 89 ayat 3.
“Dalam pasal itu berbunyi, upah minimum ditetapkan melalui surat keputusan, bukan surat edaran. Wajar saja kalau ini mendapat penolakan,” kata Machbub.
Di Kabupaten Purwakarta, ratusan buruh juga demonstrasi di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Purwakarta. Tuntutannya masih sama, yakni mendesak Gubernur Jabar, Ridwan Kami untuk menetapkan UMK 2020.
Ketua FSPMI Konsulat Cabang Purwakarta, Fuad BM mengatakan, salah satu tuntutan yang disampaikan adalah meminta surat yang dijanjikan oleh Bupati Purwakarta, Anne Anne Ratna Mustika sat unjuk rasa pada Senin, 24 November 2019.
“Kita meminta surat yang dijanjikan Bupati Anne Ratna Mustika. Karena beliau bersedia menandatangani surat rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil,” kata Fuad.
Surat tersebut berisi tuntutan buruh di Purwakarta agar gubernur mengganti surat edarannya dan menetapkan UMK 2020 seperti pada tahun-tahun sebelumnya. “Besok sudah ditandatangani kayaknya,” kata Fuad setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Menurut Fuad, kenaikan UMK Purwakarta sebesar 8,51 persen menjadi Rp 4.039.067,66 adalah hal yang wajar. Hal ini lantaran Purwakarta dinilai berada di dekat Ibu Kota Jakarta sehingga sangat menguntungkan bagi para pengusaha.
“Kami (FSPMI Purwakarta) berencana mengikuti aksi serupa di Gedung Sate pada Senin 2 Desember 2019 pekan depan. Aksi tersebut akan disusul dengan mogok kerja selama dua hari, tanggal 3 dan 4 Desember 2019 oleh semua unsur buruh di Purwakarta,” tandasnya.
Sementara itu, buruh Kota Cimahi menuntut Ridwan Kamil menerbitkan SK UMK 2020 serta mencabut surat edaran No 561/75/Yanbangsos tentang Pelaksanaan Upah Minimum Kabupaten/Kota Di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2020. Para buruh rencananya akan turun ke jalan lewat demonstrasi yang bakal berlangsung serentak di Jabar.
Ketua DPC Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) Kota Cimahi, Asep Jamaludin mengatakan bahwa buruh Cimahi siap mengikuti instruksi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Jawa Barat untuk aksi unjuk rasa dan mogok massal mensikapi SE Gubernur Jabar. “Unjuk rasa dan Modar serentak se-Jawa Barat selama 4 hari,” katanya.
Teknis dan waktu pelaksanaan aksi dan mogok akan dibahas di tingkat aliansi buruh Jabar. Namun rencananya, unjuk rasa akan berlangsung di Gedung Sate, Gedung DPRD Jabar, dan Gedung Pakuan.
Aliansi Buruh Kota Cimahi mengajak semua buruh tak terkecuali ikut serta aksi tersebut. “Kemungkinan buruh tidak masuk kerja dan langsung ikut aksi,” imbuhnya.
Jika seluruh buruh Kota Cimahi turun aksi, maka produksi perusahaan bisa terhenti. “Otomatis produksi di Cimahi akan terhenti dan berimbas pada perputaran roda ekonomi nasional,” tandasnya.
Sementara itu, Gubernur Jabar, Ridwan Kamil melalui akun Instagram miliknya menyampaikan alasan kenapa mengatur kenaikan UMK dari SK Gubernur menjadi surat edaran. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah perusahaan yang tak mampu menaikkan UMK sesuai ketentuan mengalami gulung tikar atau pindah ke wilayah lain.
“Jika UMP tetap polanya sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu ditetapkan melalui SK Gubernur, banyak industri padat karya yang tidak sanggup, kolaps. Bukan hanya itu, industri akan kena pasal pidana walau ada instrumen penangguhan upah. Ancaman nyata ini yang membuat rata-rata pemilik pabrik memutuskan untuk menutup usahanya dan pindak ke provinsi lain atau ke luar negeri. Lantas siapa yang dirugikan? Buruh, warga saya juga,” tuturnya dalam unggahan yang bertajuk “Surat Cinta untuk Para Buruh Jawa Barat pada Selasa (26/11).
Ia mencatat, gelombang penutupan dan relokasi pabrik terus terjadi sepanjang 2016-2019. Total terdapat 83 ribu karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja atau PHK.
Ridwan menilai perubahan landasan hukum penetapan UMK menggunakan Surat Edaran Gubernur merupakan langkah terbaik bagi semua pihak. Jika sebagian kalangan merasa aturan itu tidak adil, ia menyarankan untuk menggunakan langkah hukum melalui pengadilan.
“Jika memang masih dirasa tetap tidak adil, masih ada satu ruang yang bisa ditempuh yaitu gugatan hukum ke pengadilan,” kata dia.
Dalam unggahannya di instagram, Ridwan Kamil juga melampirkan sejumlah pemberitaan terkait penutupan pabrik dan PHK karyawan. Saat ini unggahan tersebut mendapatkan tanggapan komentar sebanyak 1.784 dan disukai netizen sebanyak 41.308. (*)









