Harian Sederhana, Jakarta – Draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Cipta Kerja yang telah resmi diserahkan oleh pemerintah ke DPR pada Rabu (12/02) dinilai semakin membuktikan bahwa pemerintah hanya hadir untuk membela kepentingan pemilik modal atau pengusaha, bukan untuk membela kepentingan rakyat yang hidupnya saat ini semakin sulit.
Presiden Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, Mirah Sumirat menuturkan, pemerintahan yang saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dinilai hanya peduli pada kepentingan mempermudah investasi.
“Silahkan saja investasi tapi jika hasil investasi pada akhirnya makin menyengsarakan dan semakin mempersulit kehidupan rakyat, buat apa investasi?” tuturnya kepada Harian Sederhana, Senin (17/02).
Kesimpulan ASPEK Indonesia ini didasarkan pada banyak hal, mulai dari proses penyusunannya yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh Pemerintah dengan pengusaha tanpa melibatkan serikat pekerja, termasuk dari isi RUU Cipta Kerja yang diserahkan kepada DPR.
Apa yang dikuatirkan oleh serikat pekerja selama ini, hingga menggelar berbagai aksi unjuk rasa di seluruh Indonesia, akhirnya terbukti.
“Bahkan isi RUU tersebut jauh lebih mengerikan dampaknya bagi kehidupan rakyat karena jika lolos disahkan DPR, maka RUU ini ibarat “memberikan cek kosong” kepada Pemerintah yang berkuasa untuk semaunya sendiri dalam mengatur kehidupan bernegara,” tegas Mirah Sumirat.
Dari sisi proses penyusunannya saja sudah terjadi “keganjilan” karena pemerintah hanya melibatkan pengusaha dengan menerbitkan Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 378 tahun 2019, tentang Satgas Omnibus Law.
Komposisi satgas omnibus law yang sebagian besar pengusaha adalah inisiatif Kadin yang lantas diakomodir oleh pemerintah. Ada 16 pengurus Kadin Nasional maupun daerah dan 22 ketua asosiasi bisnis yang menjadi anggota satgas omnibus law.
“Tidak ada satupun elemen serikat pekerja atau buruh dilibatkan dalam pembahasan proses penyusunan RUU. Padahal RUU Omnibus Law ini akan sangat berdampak pada kehidupan masyarakat umum,” ungkap Mirah Sumirat.
Pemerintah, sambungnya, juga membuat blunder dengan menerbitkan Keputusan Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 121 Tahun 2020 tentang tim pembahas omnibus law Cipta Kerja. Tim tersebut baru diketahui oleh beberapa serikat pekerja pada hari Selasa, 11 Februari 2020.
Ia pun mempertanyakan untuk apa dibentuk tim pembahasan jika faktanya draf omnibus law Cipta Kerja sudah diserahkan kepada DPR pada Rabu, 12 Februari 2020.
“Ini adalah akal-akalan untuk mengesankan kepada publik seolah-olah pemerintah sudah membahas bersama serikat pekerja padahal faktanya tidak pernah ada pembahasan bersama dengan kami,” tegas Mirah Sumirat.
Dari sisi isi draft RUU Cipta Kerja, justru semakin tidak memberikan perlindungan dan jaminan kesejahteraan pada pekerja. Hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, hilangnya hak dasar pekerja untuk mendapatkan cuti khusus, outsourcing yang diperluas, kontrak kerja yang merugikan, sampai hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha nakal, semuanya membuktikan bahwa kekhawatiran serikat pekerja selama ini terbukti.
“ASPEK Indonesia meminta DPR untuk berpihak penuh pada kepentingan rakyat dan tidak hanya menjadi “stempel” bagi kepentingan pemodal yang menggunakan tangan pemerintah,” tutupnya. (*)









