Harian Sederhana, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengkritik soal ketegasan Pemerintah Indonesia dalam hal menyikapi sengketa Natuna antara pemerintah Indonesia dan China. Pemerintah diminta untuk merespon hal tersebut dengan tegas lantaran permasalahan tersebut menyangkut harga diri bangsa.
“Satu sisi adalah masalah harga diri kita sebagai bangsa dan yang kedua adalah dalam jangka panjang supaya kita nanti bisa menghadapi setiap pelanggaran,” tutur Presiden PKS, Sohibul Iman dalam acara Ngopi Bareng Presiden PKS dengan tema “Sengketa Natuna dan Kebijakan Kelautan” di Kantor DPP PKS, Senin (20/01).
Sohibul justru khawatir dengan tidak tegasnya pemerintah perihal Natuna dikhawatirkan dapat menunjukkan kelemahan Indonesia dalam mengambil sikap ke negara-negara lain.
“Kalau sekarang dilakukan oleh Cina (Tiongkok) misalnya, mungkin ke depan akan ada pelanggaran-pelanggaran lain yang disebabkan karena mereka melihat betapa respons Indonesia itu seperti menunjukkan kelemahan-kelemahannya,” tandas dia.
Jika masalah Natuna ini dikaitkan dengan persoalan investasi, Sohibul menyebut semua percaya dan sangat yakin Indonesia sangat membutuhkan investasi.
“Tetapi ketika investasi dibarter dengan sikap yang tidak proporsional terhadap kedaulatan saya kira ini tentu kita semua tidak setuju,” imbuhnya.
Menurut Sohibul, tuntutan rakyat termasuk PKS terhadap pemerintah untuk tegas soal Natuna bukan dimaksudkan mengajak perang. Tegas dalam konteks ini, kata dia, pemerintah diminta untuk mengambil sikap serta respons yang proporsional.
“Ketika itu sebuah pelanggaran katakan itu sebuah pelanggaran. Tidak usah dibungkus dengan eufemisme dia adalah kawan. Ini yang kita tuntut, kita harapkan,” ujar Sohibul.
Karena eufemisme, lanjut dia, akan memunculkan presepsi dari bangsa lain betapa kita ini sangat lemah dan didominasi oleh bangsa-bangsa lain.
Sohibul menyampaikan PKS berpegang pada adagium “Seribu kawan tidak cukup satu lawan terlalu banyak”. Namun pemerintah tetap harus punya sikap terhadap kawan yang melakukan pelanggaran itu.
“Masalahnya ketika di antara seribu kawan ini ada satu kawan yang melakukan pelanggaran terhadap tata krama pergaulan internasional, tentu kita harus punya sikap terhadap pelanggaran yang dilakukan,” tegas Sohibul.
Masih di tempat yang sama, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti ikut angkat bicara. Ia meminta pemerintah untuk memiliki ketegasan hukum yang konkret untuk pelaku ilegal fishing.
Susi menegaskan ilegal fishing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di wilayah perairan Natuna bukan masalah kedaulatan. Menurut dia, pemerintah harus menegakkan hukum secara konsisten.
“Illegal fishing di ZEE Indonesia bukan masalah kedaulatan, jadi semestinya tidak ada urusan mau perang, mau apa, ya penegakkan hukum, hak kita diambil, makanya harus ada penegakkan hukum atas kedaulatan kita,” katanya.
“Jadi salah satu yang terpenting adalah policy yang dijalankan dengan konsisten, tanpa kompromi. Wibawa negara yang akan menjaga negara dari intervensi dan interupsi dari negara lain,” timpalnya lagi.
Menurut Susi, untuk mencegah adanya ilegal fishing yakni harus secara rutin melakukan patroli di Natuna. Dengan demikian hak berdaulat atas sumber daya alam tetap terjaga.
“Ada yang melanggar ya hukum, tidak perlu drama. It’s normal activity job. Kalau ada masuk nyolong ya tangkap, so simple,” sambungnya.
Susi juga menilai kebijakan memasukkan banyak nelayan Indonesia di perairan Natuna bukan solusi yang tepat. Dia berharap ada kewibawaan dan konsistensi yang terus diberikan oleh pemerintah Indonesia dalam konflik Natuna.
“Kalau ada pelanggaran hukum ya harus dihukum, ditegakkan. Kalau diusir saja mereka akan balik lagi,” tegas Susi. (*)









